MENYINGKAP HIKMAH DIBALIK MUSIBAH
Oleh Ilda Hayati MA
Pasti akan Kami uji kalian dengan sedikit cobaan berupa rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berilah kabar gembira orang-orang yang sabar dengan cobaan ini. Mereka itu adalah orang-orang yang bila mendapatkan musibah, akan berkata kalau kita semua ini milik Allah dan pasti akan kembali kepada Allah juga (QS. 2 : 155-156).
Dalam kehidupan, hampir setiap manusia pernah mengalami musibah. Adakalanya terkait harta (kelebihan atau kekurangan), adakalanya berupa persoalan psikologis seperti rasa takut atau tidak nyaman, dan adakalanya berupa bencana alam atau lainnya.
Sebagai umat beragama sudah selayaknya kita merenung; mengapa Allah menimpakan musibah ini kepada kita, kemudian apa hikmah dibalik peristiwa itu? Dengan mencari sandaran teologis ini, kita bisa lebih arif dalam memahami fenomena alam yang semakin sulit diprediksi. Karena, pada dasarnya Allah tak akan memberatkan hamba-Nya kecuali menurut kesanggupan hamba tersebut. Dan tidaklah Allah menjadikan sesuatu peristiwa, melainkan terdapat pelajaran atau hikmah di dalamnya.
Musibah Sebagai Cobaan
Berkaitan dengan musibah ini, paling tidak ada dua pemaknaan yang bisa kita lakukan; pertama, musibah sebagai ujian atau cobaan dari Allah terhadap hamba-Nya yang beriman. Allah ingin menguji siapakah yang paling sabar dalam menghadapi cobaan dari Allah ini. Biasanya semakin tinggi iman seseorang, semakin besar pula cobaan yang bakal diterimanya. Cobaan itu beragam sifatnya, mulai dari yang fisik sampai berbentuk psikis. Semuanya tak lebih sebagai ujian dalam menakar kadar keimanan seseorang.
Kalau kita lihat dalam sejarah, maka banyak sekali kisah-kisah berbentuk cobaan yang dialami oleh orang-orang sebelum kita. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi lagi sekarang, hanya model atau bentuknya saja yang berbeda. Inilah yang Allah katakan dalam Qur’an : Apakah kamu mengaku beriman sementara belum datang kepadamu cobaan sebagaimana telah Allah timpakan kepada orang-orang sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka, kesengsaraan, dan kehinaan, sehingga berkata Rasul dan orang-orang beriman bersamanya : kapan pertolongan Tuhan datang? Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (QS.2 : 214)
Rasulullah sendiri juga merasakan penderitaan yang teramat berat ini. Mulai ketika menjalankan misi dakwah Islamiyahnya sampai kemudian ia harus terusir dari negeri sendiri dan hijrah ke Madinah karena saking beratnya cobaan yang beliau terima. Ketika berdakwah ke Thaif misalnya, beliau dilempari kotoron onta dan batu sampai-sampai bercucuran darah dari kepalanya. Malaikat Jibril sendiri mengatakan kepada Nabi kalau ia ingin mendoakan penduduk Thaif tersebut agar mendapat siksaan dari Allah karena telah menghina Nabi-Nya, pasti akan segera didatangkan Allah siksa tersebut. Akan tetapi beliau menjawab kalau mereka berbuat seperti itu hanya karena tidak mengerti saja.
Kalau kita uraikan lebih jelas, paling tidak ada empat bentuk ujian atau cobaan dari Allah ini; 1). Cobaan dalam bentuk fisik. Seperti yang dialami Nabi di atas. Atau seperti yang dialami Bilal ibn Rabbah, seorang budak sahaya yang dipaksa majikannya untuk keluar dari agama Islam dan kembali menyembah berhala. Bilal ibn Rabbah tetap bergeming dengan keyakinannya. Sekalipun siksaan begitu berat dialaminya, ia tetap tak mau menukar kembali akidahnya. Ketika dihimpit dengan batu-batu cadas di tengah terik panas misalnya, beliau tetap mengatakan Ahad, Ahad, Ahad (Allah yang Satu).
Begitu juga dengan Siti Masyitah pada masa Fir’aun. Keyakinannya untuk mengimani Nabi Musa sebagai utusan Tuhan telah menghantarkannya beserta keluarganya ke dalam air mendidih yang disediakan oleh Fir’aun. Sebelum ia sendiri diceburkan ke dalam air mendidih itu, ia melihat dengan mata kepala sendiri, satu persatu darah dagingnya dicerburkan ke dalam air terebut.
Dan yang lebih berat lagi adalah cobaan yang diterima Nabi Ayyub As. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh ulat yang menjijikkan dan memakani daging-dagingnya terus menerus. Hanya tiga organ tubuh saja yang tidak digerayangi ulat sesuai dengan permintaan beliau; hati untuk tetap mengingat Allah, lidah untuk terus berzikir kepada-Nya, dan otak agar tetap sadar dalam menanggung cobaan tersebut dan menuntun organ tubuh lainnya untuk senantiasa zikir kepada Allah.
2). Cobaan dalam bentuk kekayaan (harta). Dalam hal ini Allah menguji hamba-Nya dengan memberikan harta yang banyak. Sanggup atau tidakkah seseorang menghadapi cobaan tersebut. Apakah ia bisa menggunakan kekayaan itu pada tempatnya atau tidak. Termasuk akan diuji juga mau atau tidaknya ia menyalurkan hartanya di jalan Allah. Zakat misalnya, adalah harta orang lain yang wajib dikeluarkan bila telah sampai satu nisab. Begitu juga kebiasaan untuk infak dan sedekah merupakan kesempatan emas dan peluang beribadah bagi orang yang berharta banyak.
Qarun adalah salah satu kisah anak manusia yang gagal dalam menggunakan harta kekayaannya. Bermula dari orang kebanyakan yang mengalami kesusahan dalam hidup, kemudian Allah takdirkan ia menjadi konglomerat hebat di zamannya. Kerajaan bisnisnya maju pesat dan hartanyapun melimpah ruah. Konon ceritanya kunci tempat penyimpanan harta bendanya dibawa oleh puluhan ekor unta. Sayangnya beliau tidak bisa memanfaatkan kelebihan yang diberikan Allah itu. Ketika Musa datang untuk mengingatkannya, ia malah membangkang. Sampai kemudian Allah karamkan beliau berikut harta kekayaannya ke dalam tanah. Hingga saat ini setiap orang yang menemukan kekayaan terpendam menyebutnya dengan harta karun.
3). Cobaan dalam bentuk ketiadaan harta. Artinya kebalikan dari yang di atas. Dalam hal ini Allah berikan kemiskinan untuk menguji kadar iman seorang hamba. Mayoritas para nabi dan rasul Allah adalah orang-orang yang miskin. Nabi Muhammad sendiri juga terlahir dari keluarga miskin. Bahkan sampai akhir hayatnya beliau tetap hidup dalam kemiskinan. Begitu juga para sahabat Nabi, mereka terbiasa dalam hidup miskin. Malah mereka bertahan dengan caara hidup seperti itu.
4). cobaan dalam bentuk kekuasaan. Apakah ia mampu menjalankan roda kekuasaan yang diamanahkan atau tidak. Firaun adalah orang yang gagal dalam menjalankan kekuasaan. Cobaan kekuasaan tak mampu ia jalani. Alih-alih mengajak rakyatnya menyembah Tuhan pencipta alam, malahan ia mengaku sebagai Tuhan yang patut disembah. Akhirnya ia berserta jajarannyapun tewas di laut merah.
Musibah Sebagai Peringatan
Makna kedua dari musibah adalah sebagai peringatan dari Allah kepada hamba-Nya yang terlalu banyak berbuat dosa. Bisa jadi dalam pertimbangan Allah seseorang sudah banyak melupakan agama, terlalu banyak korupsi, kolusi, praktek ketidakadilan, kezaliman dan lainnya, sehingga perlu disentil melalui musibah. Dalam musibah longsor atau banjir bandang misalnya, sepertinya Allah memperlihatkan betapa hebat akibat yang ditimbulkan oleh keserakahan manusia yang terus menerus mengeksploitasi alam dan hutan seenaknya saja. Semua bentuk musibah ini dijadikan Allah agar manusia sadar akan hakikat diri, tanggung jawab terhadap sesama, serta pengabdiannya kepada Allah.
Dalam beberapa kisah orang terdahulu dapat dilihat kalau orang-orang yang banyak berdosa dihancurkan Allah melalui bencana alam. Mulai dari umat Nabi Nuh yang dihancurkan melalui banjir bandang karena tak mau menyembah Allah. Begitu juga umat Nabi Luth yang tak mau mendengarkan ajakan nabinya untuk meninggalkan perkawinan sejenis. Dan umat Nabi Syuaib juga mengalami hal serupa karena tak mengikuti ajaran nabi mereka. Serta masih banyak lagi umat-umat terdahulu yang mengalami nasib serupa.
Jadi dalam musibah harus dilihat dua hal : apakah ini cobaan ataukah peringatan dari Allah. Sekiranya cobaan, maka kewajiban kita untuk bersabar. Sebab biasanya dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Namun apabila sebagai peringatan dari Allah, maka tugas kita untuk merenung sejauh mana ajaran agama telah kita tinggalkan, sejauhmana kepedulian terhadap sesama kita abaikan, atau sejauh mana keserakahan yang telah kita lakukan hingga menyengsarakaan orang banyak (Penulis adalah Dosen Syari’ah STAIN Curup).